Kamis, 30 Desember 2010

patologi birokrasi



A.    Pengertian patologi birokrasi
Patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an organisation with a certain position and role in running the government administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar dapat diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan Negara mampu mengahadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosiokultur dan teknologikal.
Risman K. Umar (2002) mendefenisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku organisasi yang menyimpang dari nilai nilai etis, aturan aturan dan ketentuan ketentuan perundang undangan serta norma norma yang berlaku dalam birokrasi.
Lebih lanjut Sondang P. Siagian (1988) menuliskan beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai antara lain:
1.      Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
2.      Pengaburan masalah
3.      Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
4.      Indikasi mempertahankan status quo
5.      Empire building (membina kerajaan)
6.      Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
7.      Ketidak pedulian pada kritik dan saran
8.      Takut mengambil keputusan
9.      Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
10.  Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif
11.  Minimmya pengetahuan dan keterampilan.


A.Latar belakang munculnya patologi birokrasi
Birokrasi merupakan wujud terbaik organisasi karena menyediakan konsistensi, kesinambungan, kemungkinan meramalkan, stabilitas, sifat kewaspadaan, kinerja efisien dari tugas-tugas, hak keadilan, rationalsm, dan profesionalisme. Ikhtisar singkat dari keuntungan-keuntungan birokrasi pemerintah adalah: efisien, ideal dan cocok untuk memperkecil pengaruh dari politik dan pribadi di dalam keputusan-keputusan organisatoris serta wujud terbaik organisasi karena membiarkan memilih pejabat-pejabat untuk mengidentifikasi dan mengendalikan yang bertanggung jawab untuk siapa atas apa yang dilakukan
            karena orientasi lebih pada melayani pemerintah, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen politis dengan sifat sangat otoritatif dan represif. Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan yang absolut berkorupsi secara absolut pula). Namun pendapat Acton bahwa absolutism dapat menjadikan kesempatan korupsi itu lebih mudah. Hal ini tentu karena lemahnya bahkan tidak adanya kontol dari luar. Tanpa akuntabilitas, korupsi ‘berjamaah’ para birokrat sulit sekali diungkap. Namun, Birokrasi Weberian yang diharapkan akan menghasilkan hal-hal yang telah tersebut di atas, ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, anti terhadap kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum.
Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam birokrasi menurut Sondang P. Siagian bersumber pada lima masalah pokok yaitu:
1.      Persepsi gaya manajerial para pejabat dilingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok dan nepotisme
2.      Rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan
3.      Tindakan pejabat yang melanggar hukum dengan penggemukan pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
4.      Manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif seperti sewenang wenang, pura pura sibuk dan diskriminaitf
5.      Akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi seperti imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja dan sistem pilih kasih.

Daerah Abu Abu (Grey Area)
  Apakah yang dimaksud dengan warna abu-abu? Warna tersebut menggambarkan secara jelas bahwa abu-abu adalah tidak sepenuhnya hitam dan juga tidak sepenuhnya putih. Kaitannya dengan pelayanan publik yaitu masih terdapatnya pelaksanaan aturan normatif yang tidak secara tegas mengatakan bahwa hal tersebut adalah “hitam” atau “putih”. Tidak jelasnya kepastian mengenai jumlah biaya serta waktu yang diperlukan di dalam birokrasi pelayanan publik adalah contoh kongkrit isu krusial yang harus segera mendapatkan perhatian serius. Sering kita amati pola pelayanan yang diberikan birokrat kepada masyarakat dengan memanfaatkan kotak sumbangan di depan loket pelayanan dan juga secara diam-diam memberikan “hak-hak istimewa” (privilege) bagi kerabat atau bagi yang memberikan salam tempel/amplop.
          Manifestasinya bisa dalam bentuk calo. Hal ini sudah menjadi rahasia umum dalam dunia pelayanan publik di Indonesia. Dan anehnya masyarakat seperti tersihir dan telah menjadi maklum akan adanya praktik yang menyimpang dari aturan ini. Budaya seperti ini dikarenakan birokrasi di Indonesia merupakan warisan birokrasi kerajaan dimana rakyat diharuskan untuk mengirim upeti di dalam memenuhi kepentingan sang penguasa. Hanya kaum bangsawan dan priyayi-lah yang bisa menjadi bikrokrat. Birokrasi sepenuhnya mengabdi kepada kepentingan kekuasaan, yakni raja.
          Yang menjadi pertanyaan sekarang ini, kenapa budaya seperti itu masih dengan setianya melekat baik di dalam aparatur negara maupun masyarakat? Adakah gebrakan yang berani dari dalam birokrasi sendiri untuk merubah imej pelayanan publik menjadi lebih baik? Katakanlah seorang warga masyarakat hendak mewujudkan keidealisannya dengan membayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang akan didapat bukanlah pelayan prima melainkan waktu yang lama dalam proses penyelesaiannya dan itupun dikerjakan dengan seenaknya sendiri. Dan kalaupun si pelanggan ini hendak membayar uang “sukarela”, akan terjadi kebimbangan yang tidak mendasar disebabkan apabila sumbangan “sukarela” sedikit jumlahnya, yang akan didapat sebuah gerutuan yang tidak menyejukkan hati.
          Sebaliknya apabila uang sumbangan terlalu besar, yang akan didapat adalah konflik batin di dalam hati si warga itu sendiri. Dengan kata lain, hak-hak pelanggan selalu termarjinalkan. Dari sinilah sebenarnya benih-benih KKN subur menjamur tak mengenal musim. Di dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 memuat sendi-sendi pelayanan yang harus dicakup dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia, antara lain kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan yang merata, serta ketepatan waktu.
Dengan aturan yang baku tersebut secara ideal pola pelayanan di Indonesia telah mendapatkan bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi para pelaksana pelayanan publik untuk memposisikan mereka sebagai superior terhadap pengguna jasa layanan. Seorang pelanggan justru merupakan raja dan wajib diperlakukan selayaknya sebagai seorang raja.

A.    Beberapa upaya dalam mengatasi patologi birokrasi
 Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan yang absolut berkorupsi secara absolut pula) secara implisit menjelaskan hubungan bagaimana seseorang yang berkuasa terlalu lama akan mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan kekuasannya. Manifestasinya dalam bentuk KKN. Sehingga langkah strategis pertama yang harus diambil adalah menempatkan para birokrat yang sudah terlalu lama berkuasa berkecimpung di dalam urusan pelayanan ke posisi yang lain (tour of duty). Baik itu rotasi horisontal ataupun promosi vertikal.
          Langkah strategis yang kedua adalah dengan sedini mungkin mengenalkan teknologi informasi di lingkungan Pemerintah. Yang pertama dengan menghindarkan interaksi/transaksi uang cash antara pelanggan dan pelayan. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa semakin sering seseorang mengadakan kontak langsung dengan uang tunai, semakin besar pula kesempatan orang itu untuk mengadakan KKN. Walaupun katakanlah sudah secara ekspilist diterangkan biaya serta waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan proses pelayanan, akan tetapi praktek di lapangan akan berbicara lain. Hal seperti ini dapat disiasati dengan menyediakan mesin.
          Contoh kongkrit yang mungkin bisa diaplikasikan adalah dengan pengadaan mesin pencetak perangko ataupun kupon sebagai pengganti uang tunai (stamp vending machine) seperti yang telah dilaksanakan di Jepang. Maksudnya, setiap formulir aplikasi permohonan pelayanan hanya butuh sehelai “perangko” ataupun “kupon” bertuliskan besaran biaya yang dibutuhkan untuk proses penyelesaiannya. Hal ini akan membawa konsekuensi bahwa seseorang yang bertugas melayani pelanggan tidak akan disibukkan atau direpotkan dengan urusan uang tunai di sekitar loket mereka. Mereka hanya akan berkonsentrasi di seputaran urusan administrasi persuratan saja, tidak ada yang lain. Hal ini cukup efektif dalam menekan angka kolusi di Jepang yang biasa disebut dalam ungkapan shuden no shita (lengan baju bawah baju kimono). Dampak seperti inilah diharapkan dapat menekan angka KKN di dalam proses birikrasi pelayanan publik kita.
          Cara lain dapat berupa transfer uang di bank dengan sistem online dengan mengadakan kerjasama antara pihak penyedia layanan (Pemerintah Daerah) dengan pihak bank. Yang kedua, ditinjau dari sudut pandang pengguna jasa pelayanan, yaitu dengan memperkenalkan budaya antri yang tersistematis melalui pengadaan mesin antri (queuing machine). Kenapa budaya antri? Karena masyarakat Indonesia pada umumnya masih belum menganggap antri sebagai pola atau gaya hidup yang efektif. Sistem ini telah banyak diaplikasikan di instansi-instansi swasta dan hasilnya-pun cukup efektif untuk menciptakan suasana yang tertib dan kondusif.
         Kemudian berkenaan dari pihak birokrat sendiri sebagai penyedia monopoli pelayanan publik, sebagai wujud pertanggungjawaban langsung (direct responsibility) kepada pengguna jasa layanan, alangkah lebih baiknya apabila di luar loket pelayanan dipasang nama petugas pelayanan yang bertugas pada hari itu sehingga langkah strategis ketiga ini diharapkan apabila terjadi ketidakpuasan pelanggan kepada penyedia jasa layanan akan langsung dapat dicatat nama petugasnya dan segera bisa ditindaklanjuti.
           Ketiga langkah strategis di atas hanyalah beberapa cara di antara sekian banyak cara yang dapat ditempuh Pemerintah dalam mengeliminasi tindakan KKN yang sudah berakar di setiap lini kehidupan bangsa kita. Memang sebenarnya akar dari tindakan KKN ini tidak terlepas dari belum terpenuhinya kesejahteraan aparatur negara, kaitannya dengan pendapatan take home pay mereka. Akan tetapi, berdasarkan penelitian dari The World Bank Development Research Group Public Service Delivery (Juni, 2001) meragukan mengenai gaji kecil aparatur negara merupakan alasan untuk melakukan korupsi. Hanya disebutkan disana bahwa merubah struktur penggajian mungkin suatu bagian yang penting dalam reformasi birokrasi, tapi seharusnya jangan dilihat sebagai alat utama untuk melawan korupsi.
          Kita bersyukur bahwa RUU Pelayanan Publik yang sedang digodok di DPR saat ini merupakan bentuk political will dari pihak Pemerintah dan DPR dalam mengakomodasi hak serta kewajiban baik untuk birokrat maupun masyarakat. Dan juga dengan naiknya gaji PNS mulai awal tahun depan diharapkan dapat mendongkrak semangat aparatur negara untuk lebih giat dan semangat dalam melayani publik sesuai dengan fungsi pamong projonya.